Tim ilmuwan dari
University of Southern California (USC) mencari alternatif baterai
organik bebasis air yang bebas dari isu mudah panas saat digunakan.
Temuan ini diklaim lebih murah, lebih ramah lingkungan dan berpotensi
untuk scaling up untuk digunakan dalam angin dan pembangkit listrik
bertenaga surya karena dapat menyimpan energi yang lumayan besar.
Teknologi yang
dikembangkan oleh tim USC merupakan baterai beraliran redux organik.
Para peneliti menyebut hasil temuan ini serupa dengan yang dikembangkan
untuk Helios drone bertenaga listrik oleh NASA. Cara kerja baterai yang
mengandung bahan kimia elektroaktif ini memompa sel dan membagi membran
untuk menghasilkan tenaga listrik.
Jumlah energi yang
tersimpan tergantung seberapa besar kapasitas baterai itu sendiri.
Baterai ramah lingkungan ini juga memiliki daya tahan lebih lama
dibanding baterai lithium-ion dan varian lainnya.
“Baterai dapat bertahan
hingga 5.000 kali pengisian ulang, tim peneliti memprediksi umurnya
dapat bertahan hingga 15 tahun,” kata Sri Narayan, Profesor Kimia di USC
Dornsife College of Letters, Arts, and Sciences, seperti dikutip laman
Gizmag, Senin 30 Juni 2014.
Lebih lanjut Profesor
Sri Narayan menjelaskan perbedaan baterai Lithium ion yang kualitasnya
menurun setelah 1.000 kali isi ulang dan biaya untuk memproduksi satu
buah baterai 10 kali lebih mahal.
Kunci utama yang
menjadikan baterai ramah lingkungan yakni penggunaan bahan elektroaktif.
Melalui serangkaian uji coba, peneliti mengembangkan senyawa organik
teroksidasi yang disebut kuinon. Kuinon ditemukan pada tanaman, jamur,
bakteri, dan beberapa hewan yang terlibat dalam proses fotosintesis dan
respirasi selular.
Tim melihat teknologi
sebagai sebuah bagian dari upaya menghemat biaya dan lingkungan. Kuinon
saat ini diproduksi dari hidrokarbon aktif, bukan dari karbondioksioda.
Sayangnya dalam penelitian ini, tim belum mengujicoba penggunaan baterai
ramah lingkungan tersebut langsung ke perangkat pintar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar